Brondongan
SMS
Setelah seharian aku dan Jikah
ketemuan, masih terasa getaran sesak itu, dia masih juga menghubungiku dengan
brondongan SMS dan juga sesekali telpon. Seperti dentuman peluru saat perang
dia menyerangku dengan brutalnya, semakin membuatku terpojok akan keadaan dan
kesalahan masalalu yang pernah aku perbuat. Apakah rasa manisnya iman harus
seperti ini paitnya? Atau apakah memang ini sebuah kesalahan yang memang dijatuhkan
dari Tuhan kepadaku agar segera Move On?
Masih saja dia mengajakku untuk
ketemuan lagi setelah tadi seharian sudah ketemuan. Aku memang bertanya kenapa
dan berlandaskan apa? Dia tidak mau menjawab padahal sebenarnya ketemuan pada
hari selasa itu sudah ku beranikan mengambil resiko terbesar dan dosa terbesar,
secara hari jum’atnya dia sudah menikah. Nanti kalo dia terbawa perasaan, terus
dia membatalkan pernikahannya malah menjadi petaka bukan hanya keluarganya, tapi
juga bakal suaminya dan juga keluarga besar dari pihak bakal suaminya.
Terus saja aku dihujam pesan yang
mengisyaratkan dia ingin bertemu. Jam 22.00 dia berangkat kerja, memang ini
hari terakhir dia kerja sebelum cuti pernikahannya, dan kebetulan dia sift 3
waktu itu. Diwaktu itu masih juga dia SMS terus, seskali aku telpon untuk
meyakinkan dia, kalo pertemuan terakhir kita berdua ya tadi saja jangan
ditambahi lagi. Dengan landasan yang jelas aku gamblangkan alasanku agar dia
sadar kalo sebenarnya gak perlu kita melakukan hal yang bodoh di waktu yang
kritis menjelang hari yang seharusnya bahagia untuk semuanya. Cukup itu menjadi
penyesalanku saja, bukan dia karena aku anggap ini sebuah pembelajaranku
tentang makna ‘Ikhlas’ yang sebenarnya.
Jam 23.00 saat aku berjaga di
rumahku karena banyaknya curanmor dan berbagai musibah pencurian yang menimpa
tetangga-tetanggaku. Dia masih saja mengajakku sampai puncaknya dia ku telpon
saat waktu menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Setelah aku keliling kampung dan
mangkal di warung kopi di gang sebelah rumahku, aku menelponnya.
“assalamualaikum, kah.” Sapaku
mengawali pembicaraan
“walaikumsalam, kang. Katanya
lagi maem kang?” jawab jikah dengan
suara mesin pabrik dan suara keramaian teman-temannya yang ada dibelakangnya.
“iya ni kah. Baru aja selesai,
kamu udah maem?” sahutku yang masih
duduk di warung kopi Pak Ji. Sambil bergegas aku mencari tempat yang sepi agar
aku gak terganggu dengan pengunjung yang lain. Kebetulan warung kopi saat itu
banyak kedatangan orang karena kebetulan banyak yang sedang ronda malam.
Aku bergegas ke teras rumah Pak
Ji yang letaknya di belakang warung yang menghadap timur dan rumah Pak Ji yang
menghadap utara. Aku duduk di teras dengan kursi sofa yang ada diluarnya
ditemanin kopi yang aku pesan dan temanku Agu Sofiyan aku tinggal diwarung
karena dia sedang makan mie rebus.
“belum, kang, ni baru ngopi, tapi
gak kopi item kayak kang tamam minum tadi siang. Ini Cuma coffe mix kang, dan ini sudah membuatku kenyang.” jawab Jikah agak
sedikit keras karena suara mesin yang keras di belakangnya
“lho kok gitu, maem ta biar kuat, tadi seharian kamu
gak maem lho, tadi tak ambilin gak
mau je”
“iya kang ini udah kok. Gimana
kang aku mau ketemu ma kang tamam walaupun 5 menit saja, biar hati ini ikhlas kang.”
Pinta jikah
“tapi gak dirumah sampean, di
luar saja kang, aku malu ma orang tua sampean.” Lanjutnya.
“lho kah, bukannya aku gak mau
kah, aku mau ketemuan ma kamu, tapi kenapa aku pun tidak berani mengjakmu
keluar, karena posisimu sudah menjelang 3 hari menjelang akad nikahmu. Aku njagani kalo kita nanti saat pergi
keluar, ada tetanggamu yang melihat terus nanti jadi buah bibir yang menjadikan
petaka buat semua pihak, kah.”
“lima meniiiiiit saja kang biar
aku lega, sebentar saja biar aku ikhlas, aku paham apa maksud smpean, ini untuk
yang terakhir kang.aku mohon.” Pintanya memelas dengan suara berat. Sepertinya
dia menahan air matanya.
“kah, sebenarnya sejak tadi kita
bertemu aku sudah mengambil resiko terbesar dan dosa terbesar mempersilahkanmu
maen kerumah menjelang akad nikahmu besok hari jumat.”
“tapi kita pun gak melakukan
apa-apa kan, kang?” kelah Jikah.
“iya memang tapi itu resiko
terberat yang berani aku ambil, tentunya kamu paham apa maksudku. Nah, kalo
kita ketemuan lagi efeknya seperti apa nanti? Gak baik untukmu, aku dan juga
semua orang yang gak tau cerita kita dulu.”
Hening sejenak.
“jangan lagi memberondong aku
dengan sms lagi, aku sedih sebenarnya, dan jangan bawa aku ke lingkaran setan
kalo memang kamu sayang aku, Kah. Kita ketemu di hari jum’at ya Kah, di saat
semua yang berpotensi fitnah bisa gugur.” Tambahku dengan nada tinggi.
Terdengar isakan tangis yang
tertahan.
“iya, Kang.” Jawabnya berat.
“ya wis semoga kamu bisa paham
apa maksudku. Tak melanjutkan kerjaanku dulu ya. Assalamu’alaikum” pamitku.
“walaikumsalam.” Jawabnya berat.
Helaan nafas panjang yang tak
terasa aku ngobrol ma dia menghabiskan waktu lebih dari 15 menit.
“mam, uda selesai belum?” keras
suara Agus memanggil dari dalam warung.
“udah kok.” Sahutku dengan suara
keras pula.
“ya wis ta totalan dulu ma pak
ji, kita pulang.” Sahut agus.
Setelah ditotal semua, dan agus
membayar semua yang telah aku habiskan sebungkus rokok Gudang Garam dan
secangkir kopi, aku ma agus pulang kerumahku. Aku masih banyak terdiam karena
pertalian hati Jikah gak juga diputus sebelum dia dapat bertemu untuk yang
terakhir.
Aku mengetuk pintu rumah yang
dibukakan ibuku. Lalu aku ma agus tidur di ruang tamu, agus sudah tidur duluan
tapi aku masih mencoba menghidupkan laptop yang dia bawa untuk melanjutkan
bahan postinganku. Tanpa sadar aku malah terlelap dengan posisi kepala
tersenderkan keyboard netbook yang masih menyala. Dan sampai jm 07.00 aku
dibangunkan agus aku stengah sadar. aku memegang handphoneku untuk melihat jam,
aku liat ada 5 SMS yang belum terbaca, belum sempat aku membuka sms itu aku
tepar lagi menyatu dengan alam dan dengan brondongan SMS yang membuatku bingung
untuk bagaimana, ketemuankah atau tidak?

