Iklan

SEBUAH KADO BERWARNA "COKELAT"



Sebuah Kado Berwarna “Cokelat”











Malam minggu, malam yang asyik buat pacaran. Anekdot itu sangat menggelitikku untuk tertawa sekeras-kerasnya saat aku coba menghisap sebatang rokok di teras rumah sambil minum secangkir kopi hitam di perbatasan waktu senja selepas adzan maghrib.


Seperti biasa kala itu, dengan badan yang lusuh karna masih teringat pikiran tanggungan tanah yang harus aku mencarikan pemecahan pelunasaannya, sejenak saat coba aku masuk kedalam kamarku untuk mengambil sebatang rokok dan korek biru, di antara sekian banyak berantakan yang berhamburan di kamar yang gelap tanpa lampu, entah kenapa mataku tertuju sebuah plastik warna putih yang berisi pakean gamis berwarna cokelat yang tak selang lama aku beli untuk Nada yang kuletakkan di atas lemari cokelat yang terbuat dari kayu jati, tumpukkan paling atas dari sekian banyak buku-bukuku yang berserakan.


Seketika konsentrasiku buyar gelisah yang tercampur dengan sesaknya dada menyeruak dalam dimensiku. Masih teringat jelas ketika malam jum’at sore dia mengirim pesan pendek ke ponselku.

Kala itu pesan yang tertulis di situ,
“assalamu’alaikum, maz punya nomer hape nya novi.”
Walaupun agak sedikit kaget dan bertanya-tanya tumben dia berani smsku duluan. Seketika bercampur rasa senang dan bahagia dia mau menyapaku setelah di malam sebelumnya aku mencoba pamit dari hadapannya.


Iya, aku pamit.
Aku pamit karena aku sudah merasa cukup dengan pembelajaran iman ini. Lagi pula aku juga harus menghadapi problema yang dipasrahkan kepadaku. Dengan segala legowo aku haturkan kata-kataku dengan jelas dan gamblang. Walaupun Nada tidak berkenan untuk membalas lagi pesan singkatku. Entah karena dia sudah benci ataupun sebaliknya. Aku tidak tau.


Banyak yang mengungkapkan rasa simpatinya kepadaku. Terutama dari Mbak Ulfah guru ngaji Nada di Kudus yang sekarang ini sudah boyong di desanya di daerah Tasikmalaya Jawa barat. Aku sempat curhat memang walaupun hanya sekedar melalui via phone dan pesan singkat, apa yang harus aku lakukan setelah ini dan bagaimana nasib kado yang seharusnya aku berikan kepada Nada? Apakah dibakar saja atau bagaimana?


Dia pun bingung mau menjawab apa. Hanya yang masih teringat di benakku hanya sekedar pernyataan ambigu yang membuatku semakin bingung.


“mending to kadone dikasihke saudaranya atau kamu serahkan langsung saja ke Nada langsung. Aku kan gak tau kadar hubungan kalian seperti apa sebelumnya, dan sekarang status kamu ma dia apa aku pun gak tau. Mending berdo’a aja jalan yang terbaik untuk kalian. Tetap berpikir positif aja.”


Membaca pesan singkat dari Mbak Ul itu aku semakin menjadi mantap akan jawaban Nada dari reaksinya atas aksiku mengajak dia berkomunikasi. Dan itu semua semakin menganmabangkan sikapku, mau diapakan kado berwarna cokelat ini.


---@<3<3@---


Bergegas aku ke teras rumah setelah aku agak lama memandangi plastik itu. Menyruput kopi yang sudah lumayan dingin karna ku tinggal agak lama di dalam, terasa nyaman dan tenang dengan duduk santai sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang. Kebetulan rumahku tepat di pojokan perempatan jalan walaupun banyak tanaman jambu tidak menghalangi jarak pandang ke jalanan yang ramai orang berlalu lalang setelah ibadah shalat magrib.


Banyak suara sound system yang menggema berbagai penjuru di desaku, banyak sekali hajat pernikahan di malam minggu ini. Banyak lampu sorot kendaraan sepasang suami istri dengan anak kecil di tengah dan berpakaian serba rapi, aroma wangi yang terbawa angin ketika berlalu lalang untuk kondangan. Tak lupa para remaja yang bergandeng-gandengan tangan dengan wanita pujaannnya, ramai nian malam minggu ini. Tapi apa yang ku rasa dalam hatiku berbalik 180 derajat dari orang kebanyakan.


Malam ini kok perasaan kok angka 17 aja ya?? Apa ada yang special,? Pertanyaan tentang angka 17 pun menyelinap disetiap lamunanku. Masih aku mencoba sesekali mencari tau ada apa dengan angka 17. Ku cocokkan dengan tanggal 17 mei ini, kayaknya gak ada yang special. Tanggal 17 mei yang rencananya mau ngambilin STNK yang ketilang temenku Ana, udah dia batalin. Ada apa ya dengan angka tuju belas??

Selang bebarapa menit aku asyik dengan angka 17, Terdengar suara adzan isya’ yang mengagetkan lamunanku.


---@<3<3@---


Setelah selesai menunaikan shalat isya’, aku bergegas kerumah mengambil netbook pinjeman untuk belajar menulis di blog yang baru saja aku buat. Walaupun minjem tak apalah yang penting bisa bermanfaat untuku belajar.


Saat fokusku sedang tertuju pada ide tulisanku, aku tergoyah oleh suara dentuman keras drum. Aku kaget
“Apa ada karnavalan ya?” gumamku dalam hati.
Coba aku hentikan sebentar ketikkanku, bernjak keluar rumah aku mendapati banyak kendaraan yang mulai parkir di mushola depan rumahku.

Terdengar suara hentakkan marchingband masih sayup-sayup terdengar dari arah barat daya.
“o pasti lewat sini” tegasku.
Dari pemandangan yang aku liat orang-orang yang kumpul di teras mushola.


Beranjak aku kedalam untuk log off netbook dan ku ambil gitarku untuk sekedar bernyanyi diteras rumahku, sekedar untuk penghilang penat. Sat melihat gerombolan orang banyak di depan rumah kayaknya lebih asik kalo genjrang genjrengnya di dalam rumah deh, suaranya gak nois, gak harus njawab sapaan orang yang sedang lewat juga.
Dan akhirnya aku dapat tempat yang enak juga untuk nyanyi di ruang tamu bagian barat bersender kayu besar tulangan rumah. Sambil menyeruput kopi dan dan menghisap sisa rokokku yang mau habis.


Hisapan rokok terakhir, dengan posisi nyender, posisi kaki kayak orang semedi, bawahan sarung, pakai batik lengan pendek, pakai kopyah warna kuning emas, sayangnya gak pake sajadah sama tasbih, tapi pake gitar.
Bajingan tenan aku cah..hehe

Kayaknya lagu yang aku dapat saat aku sowan ke Pondok Darussalam Banyuwangi Jawa Timur pas deh, “Astaghfirullahaladzim” yak lagu itu, itung-itung ngibadah.
Berawal dari Am7

Astaghfirullahaladzim

Meniti langkah hitam penuh duri
Melawan hitam hatiku ini
Aku menangisi dosaku
Selalu angkuh padamu
        (*) Allah Ya Rahman Ya Rahim
             Ampunilah hamba, Rahmatilah hamba..
Reff:
Astaghfirullahaladzim
Astaghfirullahaladzim
Astaghfirullahaladzim
Astaghfirullahaladzim

Detik menit waktu kencang berlari
Membunuh insan untuk berfikir
Samudera cintamu untukku
Belenggu hawa nafsuku
Back to (*), reff
Interlude:
Am7, F, C, G 2x

Saat enak-enaknya menjiwai lagu, mau kembali ke (*) aku dikagetkan manusia-manusia aneh dari rembang yang sedang maen kerumahku, kebetulan mereka sedang bekerja di tempatnya kang shokib untuk membantu musim buah jambu di tempatku. Mereka maen kerumahku mungkin karena pengen liat karnaval juga.
Tiga orang berperawakan tidak terlalu tinggi dari Rembang mengagetkanku, di sela aku masih bernyanyi. Merek duduk persis dihadapanku sambil mendengarkan lantunan do’a laguku, mereka diam, hanya mendengarkan, seakan mengaamini doaku dari lagu yang ku buat sendiri. Mereka adalah Marwoto, Khotib, dan Likin semua kelahiran 94’
Menjelang reff terakhir,
“assalamualaikum”
Terdengar suara dari pintu, suara wanita yang seketika mengagetkanku. Berpakaian kotak-kotak merah dan berkerudung cokelat uda dengan tas cokelat tua yang di tentengnya, seketika aku menghentikan nyanyinku.
“walaikumsalam warahmatullah, monggo” jawabku serentak dengan ketiga temanku.
Aku menjawab agak sedikit bingung mengingat wajah perempuan itu.
Dia tersenyum dan menghampiriku, aku masih gak ingat ini siap namanya. Mencoba mengingat dan dia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Aku pun mengulurkan tangan dan langsung diraihnya tanganku dan diciumnya.
“lho, lho, lho, emange aku kiai yang harus dicium tangannya minta berkah.hmmmm” kelahku sedikit bercanda.
“memang og,hehe,,” sambil tersenyum kecil dia duduk di sebelah kiriku persis dan seketika aku ingat wajah itu, dia Najikah cewek yang dulu pernah suka ma aku sewaktu dulu aku masih baru masuk kuliah. Dia teman dekat Nailis yang dulu menjadi idamanku walaupun aku kecewa dibuatnya karena sikapnya yang gak ngajeni penantianku selama tiga setengah tahun.


Sambil tersipu malu dia menatap wajahku dengan penuh arti, sambil aku meletakkan gitarku yang kusenderkan tepat di samping kananku.
piye kah kabarmu?” basa-basiku.
“bak kang, sampean pripun?” sahut dia sambil menyingkirkan tasnya.
“lho, kok disingkirkan tasnya je? Itu isinya apa? Waduh, jangan-jangan???”
“gak kok kang,” kelahnya.
“jangan-jangan bom yaaaa?? Hahaha.....” gurauku.
Boom, seketika itu gelak tawa kami berenam yang berada diruangan itu tertawa termasuk Najikah dan Abi temanku yang nyusul belakangan menjemput cah-cah rembangan..

Walaupun sebenere aku juga tau dia mau ngasih undangan pernikahannya dari sms dia tiga hari yang lalu minta untuk ditemani di akad nikahnya walaupu aku gak dikasih tau kapan tanggalnya. Aku menolaknya, kalo menyaksikan malam pertamanya mau aku.hehe...


Dia sebenarnya orang yang masih pengen banget bisa bersamaku, sayang banget ma aku apa adanya, setelah jadian ma dia hanya tiga minggu sampai sekarang tiga tahun berlalu masih mengharapku, walaupun dia sekarang mau menikah. Terlihat dari wajah sendunya kala itu. Banyak bergurau malam itu sebagai intuisiku untuk mencairkan keadaan yang lama sekali membeku.
“Bi, mau kemana?” tanyaku ma Abi yang ngasih isyarat temen-temen dari Rembang untuk keluar.
lho, meh mbok jak aring ndi cah-cah?” tanyaku kaget berbarengan dengan ketiga orang Rembang itu berdiri dan mengikuti langkah Abi.
marake ganggu, aku tak ndelok karo cah-cah ning njobo ae.” Jawab abi singkat dan mengajak keluar di teras merak melihat karnavalan.
“Sorry, ya bro. Ganggu.” Sahut Khotib sambil bergegas ke teras rumah.
lho ganggu piye? Gak lho ya, ki lho rene kancani aku.” Jawabku mengharap mereka mau duduk denganku bersama-sama Najikah. Bukan apa-apa, biar ada bahan guyon aku gak kaku dihadapan Najikah.


Dan akhirnya hanya aku berdua ma Najikah di ruang tau, temen-teen dari rembang ma Abi di teras rumah sambil menonton karnaval. Setelah hening sejenak.
“lho kamu sendirian, kah?” aku mengawali perbincangan.
“gak og Kang, aku ma adikku di luar.”
“Lho, gak disuruh masuk sekalian?”
“udah, katanya mau liat karnavalan di luar.”
“ow,,,macet gak tadi pas kesini?”
"Wuah rame kang, karnavalannya udah mau nyampe lewat sini, untungnya aku masih bisa lewat.hehe” sahut jikah ramah.
“owh, lha piye nuh, tumben ki kesini ada apa?” tanyaku to the point.
“wong Cuma maen kok kang,hehe,, boleh kan?’
“boleh donk, tapi kok bawa tas segala je, kayaknya gak biasanya deh kamu maen bawa tas segala?” tanyaku sambil ngeles pura-pura gak tau.
“gak papa kang.” Jawabnya agak murung.


Hening sejenak. Walaupun aku tau maksud yang sebenernya dia maen kerumahku sambil membawa tas di punggungnya, aku pura-pura gak tau biar gak menyinggung perasaannya yang kelihatan dari body lenguege nya mengisyaratkan kegetiran yang dulu aku ukir. Sesaat bersamanya tapi dia gak kan pernah lupa selamanya. Bukan sebuah dosa melainkan kenangan akan sebuah ketulusan cinta yang pernah aku berikan apa adanya tanpa menyentuh tubuhnya sedikitpun, hanya kasih sayang dan perhatian yang aku berikan, dan pengakuannya itu yang dia cari dari sekian bnyak pemuda masa kini yang mengatas namakan cinta tapi layaknya pacaran seperti sudah suami istri. Aku beda katanya, walaupun kata orang kebanyakan aku dianggap gila karena tidak melkukan apa-apa.


“sorry ya kah, aku gak bisa menjawab smsmu, dan gak bisa menemanimu akad, nek nemenin malam pertamanya aku mau wis.hehe.....” Aku mengawaali pembicaraan agar dia mau berterus terang.
“walah maunya.wuuuu....” sambil menepuk tubuhku



Alhamdulillah dengan celotehanku agak cair suasana.
piye nuh ki mesti ono opo-opo ki, meh nikah kapan je?”
“gak kok kang, aku malah ingat masa-mas dulu.” Jawab jikah dengan kesenduan wajahnya yang semakin menjadi.
“lho-lho,, jangan gitu a..aku malah semakin bingung ni sebenere ada ini?” sahutku berdiplomasi.


Stelah hening beberapa saat karena keramaian karnaval yang lewat disebelah rumahku aku dan dia murung seribu bahasa menggeliat masalalu saat dia pernah bersamaku. Tak selang lama setelah karnaval berlalu dan kendaraan-kendaran yang parkir didepan rumah udah pada pergi.
“aku minta maaf kah, banyak kesalahanku padamu yang aku lakukan sejak dulu sampai sekarang.” Aku mencoba mencairkan keadaan.
“gak kang, sampean gak salah apa-apa.”jawabnya dengan suara berat menahan air mata agar gak jatuh dari matanya yang terlihat merah sembab.
“jangan seperti itu a,, itu semua salahku bukan salahmu, aku gak bicara terus terang apa adanya ma kamu, aku bicara ma kamu dengan bahasa isyarat yang kamu sendiripun tidak bisa memahami. Andai saja dulu kamu paham kita pun tidak bakal seperti ini.”kataku sambil menatap matanya dalam.


“iya kang aku paham.sebenere aku gak mau ngasih undangan ini ke sampean.” Sambil mengambil kertas undangan dari dalam tasnya.


Sebuah undangan berwarna cokelat yang tak kuat aku memandangnya. Selama ini aku bicara tentang cinta yang tulus, tapi aku menyia-nyiakan orang yang mencintaiku dengan tulus, ikhlas, dan tanpa syarat. Walaupun dia menikah dengan orang lain.


Sambil menyodorkan undangan itu kepadaku.
“datang ya kang, tanggal 17 mei 2013, jumat besok,?sebenere aku gak pengen ngasih undangan ini ke sampean, tapi jujur kang ini permintaanku biar aku bisa ikhlas. Sampai detik ini aku pun sebenere masih mengharap yang tertulis di undangan itu Muhammad Arif Tamami, bukan Joko Purnomo. Eh tapi sampeane gak gelem. Tak tunggu-tunggu datangnya sampean ke rumah selama tiga tahu ini, tapi gak dateng-dateng.” Celoteh dia lancar.


Aku hanya diam.
“sebenere sudah banyak aku menolak orang yang dateng ke rumah kang, tapi akhirnya aku gak kuat juga sama desakan orang tua. Dateng ya kang jum’at besok? Pengene sampean mau nemani aku untuk akad jum’at siangnya, eh, sampeane gak mau?” sambil tersenyum getir.

“bukane gak mau kah, tapi aku gak kuat je, nek malam pertamane wis aku mau, hehehe......” candaku
“huuuuuhhhhh,,,,maunya” kelah Jikah tertawa sambil menahan air matanya jatuh.

Hening sejenak kala itu dan aku mencoba untuk tenang dan bersikap bijak. Mungkin apa yang selama ini aku lakukan yang telah ku anggap baik untuknya menjadi getir untuk dia yang mencintaiku apa adanya.
Bodohnya aku waktu itu, sebenere ini orang yang aku cari. Tapi kenapa aku harus sadar di waktu yang salah?
Sesak rasanya dada ini


“aku minta maaf kah, kalo selama ini aku salah, selama ini aku membiarkan orang yang cinta aku apa adanya terlntar dan merana atas egoku, bukan maksud untuk melepaskanmu begitu saja, pikirku waktu itu kamu kerjasama dengan nailis untuk menjebakku.” Alasanku sambil menatap matanya dalam.

Terlihat wajah yang sumringah itu berubah seketika.
“sampean gak salah kok kang, aku yang salah, kenapa aku datang di waktu yang salah, aku datang di waktu sampean sama nailis ada masalah, dimana waktu itu nailis teman dekatku. Tapi jujur kang gak ada maksud untuk mengakali sampean. Ini sebuah ketulusan di waktu yang salah, jujur dari dulu karakter pria yang aku cari ada di diri sampean. Seketika aku buta kang, apalagi liat sampean dicampakan begitu saja ma nailis, kok sepertinya orang itu buta ya,,,? Mencampakan orang yang mencintai tulus tanpa pamrih.” Dia menimpali dengan kesungguhan nada tinggi.
Sepertinya dia terbawa emosi kala itu. Flashback masalalu yang begitu berkesan di ingatannya.


“lho kah, aku ini bajingan kah, anak orang berandalan, anak yang sesuka hatinya nyakitin orang, kok bisa menjadi orang yang diidam-idamkan?” sahutku
“sampean beda kang, sampean apa adanya, gak seperti orang kebanyakan yang tidak bisa menjaga perasaan wanita”
“lho aku malah gak bisa menjaga perasaan wanita lho. Buktinya kamu aku campakan begitu saja.” Kilahku
“gak kang itu semua salahku, salahku datang diwaktu yang salah.”



Semakin hening ku rasakan berbarengan dengan berlalunya karnavalan waktu itu. Sepi, hening untuk introspeksi diri. Bodohnya aku waktu itu seketika menyeruak sampai menghentikan jantungku berdetak. Bumi seakan terkunci pintu maaf karena begitu besarnya salahku terhadap orang yang ikhlas mencintaiku apa adanya, tanpa syarat. Aku kena karma dari Tuhan di saat kisah ini sama saat aku mendekati Nada, aku tak sadar kalo sebenarnya masih ada belenggu yang mengikatku dengan ketulusannya tapi Tuhan Maha Melihat.



Astaghfirullahaladzim begitu banyak dosaku, orang yang paling ganas saja dalam berperang masih kalah tangguh dengan orang yang ikhlas berani hidup juga berani mati, aku mencampakan orang yang ikhlas yang di apakan saja trima, di kasari saja trima, di buat lumpuh saja trima, dan aku lupa Tuhan Maha Melihat segalanya.


Terdengar suara motor mendekat ke rumahku.
“maaaaam........!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriak suara pengendara motor itu, dari khas suaranya itu afif sepupuku yang mengajak aku kondangan malam itu.

“piyeeee.......masuk saja....”sahutku dengan suara keras.

“sopo kang?” tanya jikah.
“oh, afif dia sepupuku ngajak kondangan.”
“oh kalo gitu tak langsung pulang ya kang, malah ganggu banyak yang nunggu.” dia sambil meringkas tasnya bergegas pulang.
“eh sebentar to, jek kangen ki aku.” Cegahku.


Afif masuk kerumah dan dia kaget ketika melihat aku dengan seorang cewek.
“lhaaa, kui diajak kondangan sisan ae bro...” canda afif yang sketika duduk di depan kami berdua.
Jikah hanya senyum kecil.
“lho piye to ki aku meh nikah lho ma dia ki lho undangane udah jadi ki” candaku sambil nunjukkin undangan dari jikah ke Afif
“lho,lho,lho.” najikah sedikit kaget.
“ki lho walaupun salah cetak namanya muhammad arif tamami kleru joko purnomo” celotehku lagi
“wah perlu dimarahi ki juru cetake....hahaha...” tawa afif lepas.
Najikah semakin sendu. “Ya wis kang, aku tak pulang dulu, kasihan adiku di luar udah nunggu terlalu lama.” Pamit jikah sambil berdiri. Afif pun berjalan keluar. Jikah pamit dan seketika aku memeluknya erat-erat karena selama ini aku salah mencampakan orang yang ikhlas apa adanya kepadaku. Dan tak terasa air mataku jatuh seketika waktu itu.
“sudah kang, jangan nangis, dilihat orang lho malu kan”
“gak kah, aku banyak salah ma kamu, aku membiarkan kamu seperti ini, maaf, maafin aku. Insyaallah aku akan datang dipernikahanmu besok, tapi gak untuk pas waktu akad” jawabku tersedu dalam tangis.
“iya, iya kang.” Sambil melepas pelukanku di pamit dan bergegas keluar.



Sampai aku menulis cerita ini aku masih gak percaya apa yang telah aku lakukan selama ini. Dan sebuah kado cokelat yang harusnya ku berikan pada nada, haruskah ku berikan pada jikah yang benar-benar tulus apa adanya yang memberikanku sebuah kado berwarna cokelat pula berupa undangan pernikahannya di tanggal 17.

Astaghfirullahaladzim............ banyak dosa yang gak aku duga. Maafkan aku Ya Allah.......
LihatTutupKomentar

Iklan